Sulteng, wartaindonesianews.co.id - Polemik konflik lahan antara masyarakat Desa Topogaro dan Tondo dan PT Huabao Industrial Park (IHIP) tak kunjung usai.
Tepatnya pada tanggal 15 Agustus 2024, Rahman Ladanu, Safaat, Sadam, dan Imran yang merupakan warga dari dua desa tersebut menerima surat panggilan dari Pengadilan Negeri (PN) Poso, atas gugatan PT Baoshuo Taman Industri Invesment Grup (BTIIG).
Isi gugatanya, empat orang tersebut di duga melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH), atas aksi blokade jalan produksi di Desa Topogaro kawasan PT IHIP.
Tuntutannya, tergugat akan membayar nilai kerugian materil sebesar Rp 4.325.235.948, yang di akumulasi dari hitungan perhari selama tiga hari aksi blokade jalan. Besaran perharinya Rp 1.441.745.316. Serta kerugian immaterial Rp 10.000.000.000 atas pencemaran nama baik perusahaan.
Aksi blokade yang dilakukan oleh warga Desa Topogaro tersebut, merupakan buntut kemarahan setelah beredarnya video Riski selaku Legal Eskternal PT IHIP yang menyampaikan bahwa jalan tani yang sekarang digunakan sebagai jalan holing adalah milik sah PT IHIP, berdasarkan MoU tukar guling asset dengan Bupati Morowali.
Aksi tersebut dilakukan selama tiga hari pada tanggal 11 – 14 Juni 2024 dan berlanjut lagi sepekan kemudian pada tanggal 21 – 22 juni 2024.
Jalan tani Topogaro – Dusun Folili, jauh sebelum ada perusahaan nikel, sudah digunakan oleh masyarakat masih berbentuk jalan tanah setapak. Akses menuju ke Gua Topogaro (situs budaya) dan kebun seperti kopi, kakao, dan sawah.
PT BTIIG melayangkan somasi No10/BTIIG-Legal/VI/2024 kepada Rahman Ladanu, Safaat, Sadam, dan Imran, atas aksi yang mereka lakukan dengan perihal “pemalangan jalan di objek yang sudah dibebaskan”.
Tanggal 20 Juni empat orang tersebut kembali mendapatkan surat panggilan dari Polda Sulteng atas dugaan “menganggu atau merintangi kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, dan IPR yang di atur dalam pasal pasal 162 UU No 3 tahun 2020.”
Upaya untuk menekan masyarakat terus dilakukan oleh PT BTIIG. Tanggal 23 Juni 2024 dengan nomor surat 14/BTIIG-LEGAL/VI/2024, perihal “Tindakan Pemalangan Yang Mangakibatkan Berhentinya aktivitas (Investasi) PT BTIIG”, lima orang warga Desa Ambunu Moh Haris Rabbie, Makmur Ms, Abd Ramdhan, Hasrun, dan Rifiana Ms. mendapatkan somasi atas aksi blokade yang dilakukan.
Kemarahan masyarakat atas klaim sepihak jalan tani meluas hingga Desa Ambunu. Aksi blokade juga dilakukan mulai pada tanggal 13 – 23 Juni 2024 dengan melibatkan 100 orang warga.
Jalan tani yang diklaim oleh PT IHIP tersebut juga menghubungkan Desa Topogaro Folili, Sigeno, dan Desa Ambunu.
Di atas jalan tani Desa Ambunu, saat ini sudah terdapat bagunan perusahaan seperti gudang dan lain-lainnya. Akibatnya, petani Desa Ambunu harus memutar jauh kurang lebih 3 – 4 KM ke kebunya. Sebelumnya, hanya ditempuh dengan jarak 1 – 2 KM.
Hingga saat ini, PT IHIP belum pernah memperlihatkan MoU klaim jalan tani tersebut. Beberapakali masyarakat menuntut bahkan sampai melakukan aksi blokade. PT IHIP tak kunjung memperlihatkan diri. Justru, selama proses perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Ambunu, Tondo, dan Topogaro, tercatat PT BTIIG telah melakukan upaya kriminalisasi warga sebanyak 7 orang mulai dari tindakan somasi, panggilan polisi, hingga gugatan perbuatan melawan hukum.
Upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh perusahaan tersebut, mendapat respon dari Wandi yang merupakan salah satu aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah (Sulteng).
Wandi selaku Pengkampanye Walhi Sulteng menilai, bahwa PT IHIP telah melakukan pembungkaman terhadap masyarakat memperjuangkan HAK hidupnya.
Kata dia, tindakan serupa tidak menutup kemungkinan pasti akan terjadi ke desa– desa lainnya, seiring dengan perluasan kawasan yang akan dilakukan. Ditambah lagi dengan lemahnya kontrol pemerintah atas kasus pelanggaran dilakukan oleh perusahaan.
“Penggusuran paksa lahan sawit produktif seluas 14 Ha milik 12 KK Desa Ambunu, sekitar pukul 02:00 pagi tanggal 17 Oktober 2022 tanpa di ketahui oleh pemiliknya adalah gambaran tindakan semena – mena perusahaan. Walaupun dengan keadaan terpaksa masyarakat menerima ganti rugi, praktek perusahaan tidak ubahnya seperti zaman penjajahan,” kata Wandi.
PT BTIIG merupakan perusahaan pengelola berbasis smelter nikel di dalam kawasan IHIP.
Komposisi saham PT IHIP terdiri dari Zhensi Indonesia Industrial Park 51%, Beijing Shengyue Oriental Invesment Co., Ltd 10,28%, PT Kejayaan Emas Persada 27,45%, dan PT Himalaya Global Investment 11,27%, dengan nilai investasi sebesar 14 triliun rupiah.
Luas kawasan 20.000 Ha, terletak di Desa Wata, Tondo, Ambunu, Topogaro, Upanga, Larebonu dan Wosu.
Pembagunan kawasan ini sebagai bagian dari zona percontohan kerjasama internasional berkualitas tinggi di bawah “One Belt, One Road Inisiative.”
Pewarta : Junaidi AM
Editor Nur S
Posting Komentar